Tags

4 Tahun kemarin, 27 Mei, gempa meluluhlantakkan sebagian wilayah Jogja dan sekitarnya. Peristiwa mengerikan yang semoga nggak akan terulang.

Wah nggak kerasa ya udah 4 tahun. Waktu itu nenekku masih ada. Waktu itu aku masih karyawan kontrak di kantorku yang terakhir….

Aku ingat benar, 27 Mei 2006 lalu, sebuah sms membangunkanku. “Vit, Jogja gempa,” begitu isi pesan teman kuliahku.
Panik, aku lantas meng-sms adik dan keluargaku. Syukurlah, mereka selamat.

Tapi rumah nenekku yang di dekat Candi Prambanan hancur. Seorang paman bahkan tewas tertimpa rumah yang roboh. Aku nggak kebayang sama sekali, sekuat apa sih gempa itu sampai sebegitu banyak bangunan yang rusak dan sampai menewaskan ribuan orang. Gempa 5,9 SR dengan 5-6 MMI tuh sedahsyat itu ya.

Berdasarkan blog lamaku, ternyata aku libur 4 hari sejak piket malam, Rabu 24 Mei. Semula aku berencana ke Jogja, tapi karena capek enggak tidur semaleman, akhirnya aku memilih ke tempat mbakku di Daan Mogot.

Waktu itu aku belum dapat piket malam penulis, jadi hanya punya jatah 2 minggu sekali ‘ngalong’. Saat gempa itu kalau nggak salah beberapa penulis di kantor banyak yang keluar kota. Rada-rada kekurangan tenaga jadinya. Apalagi bencana alam seperti itu punya nilai berita tinggi. Makanya aku yang waktu itu masih sangat hijau pun harus diberdayakan.  Meskipun seharusnya aku libur, meskipun belum gilirannya piket malam, aku diminta membantu piket malam. Karena ingin sekalian up-date info aku pun dengan semangat 45 bercampur semangat reformasi menjalaninya.

Dari cerita saudara dan teman-teman, waktu gempa terjadi semua kocar-kacir. Di tengah kepanikan ada isu bakal ada gelombang besar alias tsunami, makanya banyak warga yang berbondong-bondong naik ke bukit. Jalanan penuh manusia dengan ekpresi bingung dan sedih. Keluargaku waktu itu memilih tidur di luar rumah karena takut terjadi gempa susulan yang lebih besar.

Rasanya nggak enak banget. Aku tidur di kasur dengan selimut hangat di dalam rumah, sedangkan mereka harus berdingin-dinginan tidur di pinggir jalan. Nyesek banget rasanya. Tapi gimana lagi…. Namanya juga musibah, bencana….

Akibat gempa itu, ibu mertua tanteku sampai sekarang masih trauma. Maklum, rumah dia hancur. Waktu siap-siap mau ngungsi, cucunya (2 orang kalau nggak salah) tertimpa balok kayu rumah hingga tewas. Nggak lama, suaminya meninggal juga. Sekarang dia masih suka linglung-linglung gitu. Dia sering menanyakan pertanyaan yang sama yang belum lama dia tanyakan. Kasihan….

Nggak lama dari gempa Jogja, gempa Pangandaran. Rumah orangtuaku kan cukup dekat sama daerah itu, jadi mau nggak mau kepikiran juga. Waktu gempa terjadi, aku segera mengajukan diri buat datang langsung ke lokasi. Tapi kantor lebih memilih mengirimkan anak-anak cowok. Karena aku tampak ngotot pengen ke lapangan, akhirnya aku ditenangkan dengan kalimat, “Nanti kamu orang pertama yang dikirim kalau salah satu dari mereka harus pulang ke Jakarta.”

Sejak gempa Aceh, bertubi-tubi Indonesia digoyang gempa.Ini ya risiko berada di daerah ring of fire. Gempa bumi dan ancaman meletusnya gunung api harus menjadi ‘sahabat’ sehari-hari.